Jakarta, ABIM (18/9/2020) – Saat ini penyediaan rumah bagi masyarakat masih menjadi tantangan besar. Menurut BPS, pada tahun 2015 terdapat backlog kepemilikan rumah sekitar 11,39 juta rumah. Antara tahun 2015-2019 berhasil dibangun 4,8 juta rumah dan dengan asumsi dalam periode tersebut terjadi pertambahan keluarga sebesar 4,45 juta, maka saat ini backlog kepemilikan rumah diperkirakan masih sebesar 11,04 juta. Adapun mayoritas dari mereka yang belum memiliki rumah adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Hal ini dinyatakan Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat memimpin Rapat Koordinasi tentang Penguatan Kebijakan Penyediaan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional yang diselenggarakan secara daring di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Kamis (17/9/2020).
Wapres menuturkan bahwa pemerintah maupun swasta pada dasarnya sudah berbuat banyak dalam memenuhi kebutuhan perumahan ini. Kredit kepemilikan rumah (KPR) oleh perbankan tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Namun, tidak semua KPR dapat diakses oleh MBR.
“Namun demikian, pemerintah masih perlu membantu mereka yang masuk dalam kategori MBR,” imbuhnya.
Menurut Wapres, di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Kawasan Permukiman yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pembangunan Perumahan MBR, disebutkan bahwa masyarakat dalam kategori MBR adalah mereka yang memiliki keterbatasan daya beli dan perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memiliki rumah. Pada implementasinya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan klasifikasinya.
“Selanjutnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menetapkan klasifikasi MBR ini,” paparnya.
Namun demikian, Wapres mengingatkan bahwa penetapan klasifikasi MBR yang terlalu rendah akan mengakibatkan pemerintah kesulitan dalam menjalankan program, karena klasifikasi pendapatan yang rendah tidak sebanding dengan harga rumah yang terus meningkat. Dan juga sebaliknya, bila klasifikasi MBR terlalu tinggi, maka mereka yang mampulah yang memiliki kesempatan terbesar untuk mengikuti program pemerintah tersebut.
“Saya mendengar, bahwa Menteri PUPR menetapkan klasifikasi MBR sebagai mereka yang berpendapatan kurang dari Rp 8 juta. Hal ini selain untuk menarik lebih banyak pengembang perumahan, juga dimaksudkan agar ASN/TNI/POLRI dapat mengikuti program ini. Saya rasa ini merupakan kebijakan yang baik mengingat masih ada sekitar 1,56 juta ASN/TNI/POLRI yang belum memiliki rumah. Sedangkan kita ketahui, pemerintah tidak lagi menyediakan perumahan bagi ASN/TNI/POLRI seperti di masa yang lalu” paparnya.
Alokasi Dana Insentif Perumahan Untuk MBR
Wapres menuturkan bahwa di dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional, terdapat alokasi dana sebesar 1,5 triliun rupiah untuk tambahan insentif perumahan untuk MBR.
“Untuk bantuan subsidi selisih bunga dialokasikan Rp 0,8 triliun, untuk 175 ribu unit rumah. Sementara untuk bantuan subsidi uang muka disediakan Rp 4 juta per rumah untuk 175 ribu unit rumah dengan alokasi Rp 0,7 triliun,” ungkapnya.
Namun demikian, menurut Wapres, hingga saat ini ia belum mendengar realisasinya.
Terkait subsidi bunga, Wapres menyampaikan saran mengenai kemungkinan pemangkasan jangka waktu pemberiannya, baik untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) maupun untuk program subsidi bunga. Ia meminta para menteri terkait untuk menjajaki kemungkinan ini.
“Artinya, kalau subsidi bunga sekarang ini diberikan selama 20 tahun, barangkali bisa diperpendek menjadi 10 tahun bagi klasifikasi terbawah, atau selama 5 tahun bagi klasifikasi MBR menengah. Atau dapat juga diberikan selama 20 tahun tetapi secara bertahap diturunkan subsidinya,” sarannya.
Lebih jauh, Wapres mengilustrasikan, dengan asumsi suku bunga pasar untuk KPR adalah 11%, program FLPP yang sekarang hanya mengenakan suku bunga KPR sebesar 5%, selama 20 tahun, artinya pemerintah melalui FLPP memberikan subsidi bunga sebesar 6% selama 20 tahun.
“Seandainya, bila dilakukan sedikit penyesuaian, misalnya pada 4 tahun pertama pembeli MBR dikenakan bunga 5%, tetapi pada tahun ke 5-8 dikenakan bunga 7%, dan pada tahun ke 9-12 dikenakan bunga 9%, kemudian pada tahun ke 13-20 dikenakan bunga pasar sebesar 11%, maka menurut simulasi yang dilakukan akan terjadi penambahan satu setengah kali jumlah rumah yang dapat dibangun selama periode FLPP tersebut, dengan alokasi dana yang sama dengan saat ini,” paparnya.
Wapres meyakini bahwa apabila pemberian subsidi kepada MBR hanya pada 5 tahun pertama, maka diperkirakan jumlah rumah yang dapat dibangun dalam jangka waktu 20 tahun akan menjadi 2 kali lipatnya.
“Karena ini masih dalam rangka pemulihan ekonomi, saya menginginkan agar pengerjaan pembangunan perumahan bagi MBR ini dilakukan dengan cara padat karya, dengan seluruhnya menggunakan bahan material produksi dalam negeri,” pintanya.
Selain itu, ia juga meminta agar program ini juga melibatkan sebanyak mungkin UMKM serta bank dan lembaga keuangan syariah.
“Kita perlu melibatkan sebanyak mungkin UMKM dan dari sisi pembiayaannya agar melibatkan bank dan lembaga keuangan syariah,” pungkasnya.
Tampak hadir dalam rapat virtual kali ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. (ABIM/RN, KIP-Setwapres)