Kendari, Sulawesi Tenggara, ABIM (13/11/2020) – Perubahan iklim merupakan tantangan global kehidupan makhluk hidup bumi terbesar pada abad ke-21. Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celcius selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1,8 – 4 derajat Celcius dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2,5 – 4,7 derajat Celcius jika dibandingkan periode pra-industri atau tahun 1750.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong saat hadir memberikan arahan pada sosialisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim dan implementasinya di tingkat nasional untuk wilayah Sulawesi Tenggara, di Kendari (12/11/2020).
Wamen Alue Dohong menerangkan lebih lanjut, laporan IPCC juga menegaskan bahwa terjadinya perubahan iklim, yang berupa meningkatnya emisi gas rumah kaca diakibatkan aktivitas manusia. Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terakhir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu.
Wamen Alue Dohong menceritakan, permasalahan dan dampak perubahan iklim telah mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomi.
Mempertimbangkan perlunya kerja sama global dalam menangani dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia turut serta meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan menjadi Negara Pihak UNFCCC, Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.
Indonesia turut pula menjadi Negara Pihak pada beberapa perjanjian turunan dari UNFCCC, yaitu Kyoto Protocol, yang diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the UNFCCC. Kemudian Doha Amendment, diterima (accepted) melalui instrument Piagam Penerimaan Doha Amendment to the Kyoto Protocol 6 Agustus 2014. Dan yang terbaru adalah Paris Agreement, yang diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the UNFCCC pada 24 Oktober 2016, sebagai rezim baru pengendalian perubahan iklim pasca 2020.
Guna mensinergikan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, Kementerian LHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) menyelenggarakan sosialisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim dan implementasinya di tingkat nasional untuk wilayah Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid, yaitu melalui tatap muka dengan peserta yang terbatas dan juga melalui telekonferensi video.
Wamen Alue Dohong berharap melalui workshop ini terjadi proses pembelajaran dan pertukaran informasi yang produktif antara narasumber dengan para peserta yang telah hadir baik secara offline maupun online.
Direktur Jenderal PPI, Kementerian LHK, Ruandha A. Sugardiman pada saat yang sama menerangkan bahwa sosialisasi ini bertujuan agar para pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Tenggara mendapatkan informasi akurat mengenai hasil-hasil pencapaian perundingan perubahan iklim, dan beberapa catatan tindak lanjut di tingkat nasional. Selain itu, diharapkan juga memiliki persamaan persepsi terhadap dan implementasinya di tingkat nasional, serta dapat memberikan input konstruktif untuk implementasi pengendalian perubahan iklim di daerah.
Ruandha mengungkapkan bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang cukup monumental bagi pengendalian perubahan iklim global. Hal tersebut dikarenakan tahun 2020 merupakan tahun pertama Negara Pihak mengimplementasikan komitmennya di bawah Paris Agreement.
“Sebagai tahun pertama pelaksanaan Paris Agreement, Negara Pihak dihadapkan pada tantangan lain yang tidak kalah hebatnya dengan perubahan iklim itu sendiri, yaitu timbulnya pandemi global Corona Virus Disease 2019 (COVID-19),” ungkap Ruandha.
Meski tahun 2020 memberikan tantangan besar untuk upaya pengendalian perubahan iklim global dan nasional, Ruandha menyakinkan bahwa Kementerian LHK selaku National Focal Point to the UNFCCC tetap optimis dan menjaga semangat untuk melaksanakan berbagai komitmen yang telah Indonesia sampaikan dalam NDC. Berbagai komitmen tersebut mencakup aksi mitigasi, adaptasi, mobilisasi sumber daya, dan inventarisai gas rumah kaca dan monitoring, pelaporan, dan verifikasi.
Ruandha kemudian menyampaikan bahwa pada tahun 2020 Green Climate Fund (GCF), salah satu lembaga pendanaan iklim global bentukan UNFCCC, telah menyetujui proposal Indonesai mengenai REDD+ Results-Based Payment, dan mengucurkan pendanaan senilai 103,8 juta Dolar Amerika.
“Capaian ini menunjukkan respon yang mengesankan dari Indonesia dalam mengatasi ancaman perubahan iklim, serta sebagai wujud peningkatan kepercayaan di dalam negeri dan komunitas internasional,” ungkap Ruandha.
Sosialisasi ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara seperti perwakilan pemerintah daerah, akademisi, serta Unit-unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK di Sulawesi Tenggara.(ABIM)