Jakarta, ABIM (20/11/2017) – Disepakatinya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi Indonesia tak lepas dari kearifan para pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia di masa lalu. Meskipun suku bangsa Melayu di Indonesia hanya sekitar 10 persen dari penduduk yang ada, namun seluruh warga bangsa ini menerimanya dengan baik. Bandingkan dengan India dan Belgia yang memiliki bahasa berbeda-beda dalam satu negara.
Hal itu dikemukakan Wakil Presiden RI, HM Jusuf Kalla (JK) saat memberikan pembekalan kepada peserta PPSA 21 dan Alumni PPRA 56 Tahun 2017 di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (20/11).
Karena itulah, Wapres mengajak rakyat Indonesia melihat bagaimana kearifan Bapak Bangsa ini yang meskipun lebih banyak suku Jawa tapi tidak memakai bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.
“Itulah salah satu kearifan bangsa kita dalam menerima kesamaannya dengan toleransi,” tegas Wapres.
Dalam kesempatan itu Wapres sempat menceritakan pengalamannya bersama Duta Besar Irak yang yang ikut bersama Wapres melakukan peninjauan ke Aceh pasca terjadi konflik.
“Saya tanya, kenapa kau mau ikut?”
“Karena saya ingin sampaikan kepada teman-teman di Irak, jangan seperti orang Arab, kulitnya hampir sama, bahasanya satu, budayanya sama, agamanya hampir satu, tapi berkelahi terus. Tapi lihat orang Indonesia, bahasanya saja ada 300 an jenis bahasa, suku dan adatnya berbeda-beda, agama berbeda-beda, tapi tetap bersatu,” ujar Wapres menirukan kembali diskusinya beberapa waktu lalu.
Karena itu, sambung Wapres, jadilah orang Indonesia dan itu tentu harus kita hargai dan kita nikmati kebersamaan itu sampai sekarang. Namun, lanjutnya, di antara kebangsaan dan kebersamaan tadi masih banyak pikiran-pikiran.
“Karenanya, satu seminar memang penting dalam rangka mengumpulkan pandangan-pandangan. Ada seminar yang merubah bangsa ini, seminar Seskoad tahun 60-an, telah mengubah pikiran dari Orde Lama ke Orde Baru menjadi panduan pada waktu itu. Mudah-mudahan seminar di Lemhanas juga bukan mengubah suatu pemerintahan tapi mengubah pikiran-pikiran yang lebih maju. tadi banyak pikiran-pikiran yang Saya dengar baik walaupun ujungnya hampir sama yaitu baik Pendidikan Pancasila dan sebagainya,” terangnya.
Memang bangsa sebesar ini harus mengakui perbedaan karena itu ada Bhineka Tunggal Ika, dan perbedaan itulah menjadi kekuatan kita. Justru karena perbedaan-perbedaan itulah kita bersatu, yang saling melengkapi satu sama lain.
Menurut Wapres, terjadinya konflik dan perpecahan, bukan karena tidak hafal akan Pancasila. Buktinya di era Orde Lama yang sudah mengenal Pancasila dan Orde Baru yang sudah serba demokrasi Pancasila, pun ada konflik dan perpecahan. Hal itu terjadi lebih dikarenakan persoalan ekonomi, bukan karena Pancasila.
“Waktu akhir zaman Bung Karno juga inflasi hampir 100% harga minyak, beras naik. waktu Orde Baru ke Orde Reformasi juga karena ekonomi inflasi sekian, 75%, rupiah menjadi 17 ribu, banyak orang menganggur. Jadi perpecahan bangsa ini bukan hanya karena orang tidak hafal Pancasila, justru masalahnya masalah kehidupan, perbedaan perbedaan,” tuturnya.
Wapres mencatat, dalam waktu 70 tahun merdeka ada 15 konflik besar negeri ini. “Yang saya kategori besar itu yang tewas minimum lebih daripada 1000 orang, ada yang 1000 an ada mungkin ratusan ribu, mulai PKI Madiun, kemudian RMS, DI/TII, ada G30S, ada Timtim, ada Papua, konfik Ambon, Poso, masing-masing sebabnya beda-beda, kalau PKI jelas karena ideologi. Jadi kemudian RMS juga separatis, DI/TII dan sejarahnya bukan karena Islam, bukan karena agama tapi karena ketidakadilan yang terjadi di kalangan internal. Karto Suwiryo melihat bahwa dia mempertahankan Jawa Barat tapi begitu kembali normal, dia tidak ada apa-apa, fungsi apa-apa. Sama dengan Kahar, kalau di Aceh dijanjikan daerah khusus tapi tidak diberikan. Tapi karena agama gampang mempersatukan orang maka menjadilah bola-bola agama. (Pemberontakan) PRRI/Permesta, karena merasa kenapa mereka kaya sumber daya alam, tapi tidak makmur, di banding dengan di pusat. jadi ketidakadilan ekonomi. G30S kita mengetahui ideologis dengan tentu masalah-masalah yang timbul pada waktu itu. Konflik Timtim ya ini separatisme yang terjadi karena sejarah. bukan masalah agama, masalah keadilan ekonomi lagi. Aceh juga, kaya dengan gas, minyak tetapi dia tidak menikmati, merasa tidak menikmati tapi lari ke pusat juga. Papua hampir sama, merasa, bukan merasa, Papua kaya tapi mereka tetap miskin. Ambon lain lagi, akibat demokrasi yang tiba-tiba menimbulkan masalah harmoni,” paparnya.
Jadi, konflik yang terjadi tak selalu karena persoalan ideologis. “Karena itu ini harus dibahas apa sebabnya. Tak semua ideologis. 10 dari 15 konflik itu karena ketidakadilan, sosial, ekonomi dan politik itulah tentu yang jadi bagian kita gimana pemimpin yang besar ini sehingga. Islam pun begitu ingin pemimpin yang adil dan agama apapun tentu juga minta yang adil,” tegasnya.
Satu hal penting, apabila kita bicara memantapkan Pancasila kita jangan hanya katakan nilai nilai. “Karena itulah maka Pancasila ya namanya lima sila. kita harus urai. Ketuhanan YME itu bagaimana? Kemanusiaan yang adil dan beradab itu bagaimana? Persatuan bagaimana? Kerakyatan bagaimana, dan keadilan bagaimana. Anda pilah-pilah jangan karena tak suka nilai Pancasila. Nilai apa? ketuhanan kah, perikemanusiaan kah? persatuan kah? Harus jelas. Jangan kita gunakan Pancasila disamping berkebangsaan juga sebagai alat hukum.”
Wapres juga bercerita, ketika pengungsi Rohingya mau mendarat di Aceh dan ditolak karena kapalnya rusak. “Saya sampaikan ke mereka, Anda tahu Pancasila? Coba baca Pancasila di sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah beradab kalau kita tolak itu pengungsi yang tadi. apakah beradab apabila kita (tak terima) orang susah itu. Anda baca kemanusiaan yang adil dan beradab. kita harus lihat seperti itu,”.
Lalu soal HTI (Hizbut Thahrir Indonesia), “Apa yang salah dari HTI? ketuhanannya tentu bagus, karena dia beragama, kemanusiaannya juga karena dia kerja kemanusiaan. Yang salah itu persatuannya. karena bertentangan dengan kenegaraan kita bersatu dalam berbangsa. dia ingin borderless, tanpa batas. di situ salahnya,” terangnya.
Wapres berharap harus ada yang jelas dari kita semua dan jangan ada sesuatu yang tidak pancasilais.
“Saya ingin sedikit tambahkan, bahwa memang ke depan berbeda. kita hadapi situasi, dunia yang berbeda, dunia IT, digital dalam pergolakan dunia sesuai dengan teknologi. waktu revolusi Iran, Khomeini memakai kaset. mengirim pidatonya diputar di pasar pasar dehingga terjadi revolusi iran. Revolusi Cina di Tianamen, itu karena ada faksimil. Terjadinya Arab spring itu dengan facebook, semua satu kali pencet jutaan orang terjadilah revolusi paling cepat, negara negara jatuh. dengan facebook saja atau twitter. IT mempercepat proses sesuatu. tapi kalau saya ingin lihat apa yang terjadi suatu revolusi di bagian dunia, kenapa revolusi Arab yang kena semua republik? Irak, Syiria, Yaman, Tunis, Nigeria dan lainnya.”
“Rakyat menginginkan keterbukaan tapi pemerintahnya otoriter. kalau kerajaan, seperti Saudi, Kuwait, Emirat, tak ada apa apa, karena sudah jelas dia monarki. Kita ini republik harus ada sistem keterbukaan, kalau ada kritik ya kalau benar kita ubah, kalau salah kita bantah, republik otoriter ya ditangkap. sama dengan zaman orba orla begitu kalau salah ya di tangkap kalau reformasi kalau salah ya harus ke pengadilan, ditangkap juga pada ujungnya tapi lewat pengadilan. Itulah yang tantangan sekarang. tentu juga karena keterbukaan, kita banyak masalah masalah. kenapa tokoh agama sangat penting tapi tak seefektif zaman dulu? dulu pemimpin pesantren kiai beri fatwa selesai semua.
Sekarang anak anak lebih dulu baca di medsos daripada kiainya. Jadi terjadi banyak pandangan-pandangan tak semudah lagi tokoh agama masyarakat dapat memadamkan masalah meninggalkan masalah.
Media sosial lebih kuat daripada tokoh masyarakat. Pengalaman saya waktu PMI, saya ke Lampung waktu itu ada konflik antara orang Bali dan setempat. Hanya dalam skala jam terjadi bahwa ada isu pelecehan gadis gadis. Langsung beredar dan diperkosa. Dibakarlah kampung itu. Saya tanya ada apa. Ada pelecehan padahal tidak terjadi sama sekali. Karena kekuatan SMS dan WA. Kekuatan IT. Berbagai cara yang kita hadapi dewasa ini yang memang harus banyak diubah. Seperti pendidikan yang tentu juga tak bisa lagi pendidikan itu seperti dulu, sepihak harus ada interaktif, diskusi, permasalahnnya guru sanggup tidak. Kalau tak sanggup dia akan kalah dengan murid soal masalah-masalah itu. Dia nanya google daripada gurunya. Kita hadapi tantangan itu. juga ada tantangan yang kita hadapi pada bidang ekonomi, dilema antara upah dan automation. kalau upah naik terus, pemerintah juga ada mekanisme (itu). tapi apabila melampaui ongkos orang bikin robot. industri terjadi automation. makka terjadi tantangan lapangan kerja.
Apabila itu terjadi memang ada akibatnya kemudian siapa yang mau beli barang kalau semua robot. Dia hanya butuh oli saja. Itu semua tantangan yang kita hadapi masa depan yang menjadi pengetahuan. pengetahuan atau langkah-langkahnya. Kita tak bisa bicara ideologi saja. bahwa setelah kita menghapal Pancasila selesai urusan republik kita, tidak begitu.
Dua kali orde pemimpin jatuh itu semua karena masalah kesulitan ekonomi. Artinya tantangan kita masalah ekonomi yang besar. Produktivitas dan lain sebagainya.
Tampak hadir pada acara tersebut Gubernur Lemhannas Letjen TNI (purn) Agus Widjojo, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Bambang Widianto, Deputi Bidang Administrasi Guntur Iman Nefianto, Tim Ahli Wakil Presiden Sofyan Wanandi (KIP-Setwapres).